Jika
kita berbicara tentang pancasila, tentunya kita akan dihadapkan pada definisi
serta sejarah tentang pancasila itu sendiri. Pada dasarnya, pancasila adalah ideologi
dibentuk oleh warga Indonesia, dan untuk Negara Indonesia. Tentunya isinya pun
disesuaikan dengan kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri. Namun kita
sendiri masih sering bertanya-tanya apakah itu pancasila? Mengapa ideologi ini
hanya ada di Indonesia dan tidak ada pada negara lain? Pertanyaan macam itu
sering terlintas dalam benak kita sebagai warga negara Indonesia yang notabene
pemilik dari ideologi sakral yang bernama pancasila ini.
Perkataan pancasila mula-mula
terdapat dalam perpustakaan Budha india. Ajaran budha bersumber pada kitab suci
Tripitaka dan Vinaya pitaka, yang kesemuanya itu merupakan ajaran moral untuk
mencapai surge. Ajaran pancasila menurut Budha adalah merupakan lima aturan
(larangan) atau five moral principles,
yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para penganutnya.
Nilai-nilai pancasila secara intrinsic
bersifat filosofis, dan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia nilai pancasila
secara praktis merupakan filsafat hidup (pandangan hidup). Nilai dan fungsi
filsafat pancasila telat ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Hal ini dibuktikan
dengan sejarah Majapahit (1293). Pada waktu itu Hindu dan Budha hidup
berdampingan dengan damai dalam satu kerajaan. Empu Prapanca menulis “negara
kertagama” (1365), dan di dalam kitab tersebut telah terdapat istilah
pancasila.
Empu Tantular yang mengarang buku “sutasoma”
yang di dalamnya memuat seloka yang berbunyi “Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma
Mangrua”, artinya walaupun berbeda namun satu jua adanya, sebab ada tidak agama
yang memiliki Tuhan yang berbeda. Hal ini menunjukan adanya realitas kehidupan
agama pada saat itu, yaitu agama Hindu dan Budha. Bahkan salah satu kerajaan
yang menjadi kekuasaannya yaitu pasai justru telah memeluk agama islam.
Sumpah palapa yang diucapkan
Mahapatih Gadjah mada dalam siding ratu dan para menteri di pasebahan keprabuan
Majapahit pada tahun 1331, yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh
nusantara raya sebagai berikut; “Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa,
jikalau seluruh nusantara bertakhluk di bawah kekuasaan negara, jikalai gurun,
seram, tanjungpura, haru, Pahang, dempo, bali, sunda, Palembang, tumasik telah
dikalahkan”. (Yamin;1960:60)
Dalam kehidupan bangsa Indonesia diakui
bahwa nilai pancasila adalah filsafat hidup yang berkembang dalam sosio-budaya
bangsa, karenanya nilai ini diyakini sebagai jiwa dan kepribadian bangsa.
Sebagai ajaran filsafat, pancasila
mencerminkan nilai dan pandangan mendasar dan hakiki rakyat Indonesia dalam
hubungannya dengan sumber kesemestaan, yakni Tuhan Yang Maha Esa sebagai asas
fundamental kenegaraan yaitu negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
demikian pula asas kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan
seterusnya dimana nilai-nilai tersebut secara bulat dan utuh mencerminkan asas
kekeluargaan, cinta sesame dan cinta keadilan. (Nesty Astriani Scribd, 2010)
Beralih dari zaman kerajaan, ide
dari pancasila ini pun diteruskan sampai pada zaman modern, yaitu pada saat
Indonesia hamper merdeka
Sebelum tanggal 17 Agustus bangsa
Indonesia belum merdeka. Bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa lain. Banyak
bangsa-bangsa lain yang menjajah atau berkuasa di Indonesia, misalnya bangsa
Belanda, Portugis, Inggris, dan Jepang. Paling lama menjajah adalah bangsa
Belanda. Padahal sebelum kedatangan penjajah bangsa asing tersebut, di wilayah
negara RI terdapat kerajaan-kerajaan besar yang merdeka, misalnya Sriwijaya,
Majapahit, Demak, Mataram, Ternate, dan Tidore. Terhadap penjajahan tersebut,
bangsa Indonesia selalu melakukan perlawanan dalam bentuk perjuangan bersenjata
maupun politik.
Perjuangan
bersenjata bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah, dalam hal ini Belanda,
sampai dengan tahun 1908 boleh dikatakan selalu mengalami kegagalan.
Penjajahan Belanda berakhir pada tahun
1942, tepatnya tanggal 8 Maret. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh bala
tentara Jepang. Namun Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia. Mulai
tahun 1944, tentara Jepang mulai kalah dalam melawan tentara Sekutu. Untuk
menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam melawan
tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari.
Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944.
Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang
memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji
kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar
Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura).
Dalam
maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki
dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah
Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.
Keanggotaan
badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang pertama pada
tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini yang dibicarakan
khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang
pertama itu, banyak anggota yang berbicara, dua di antaranya adalah Muhammad
Yamin dan Bung Karno, yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk
Indonesia merdeka. Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara
lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Peri
Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Selain itu Muhammad Yamin juga
mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Ketuhanan Yang
Maha Esa
2. Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
2. Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Usulan ini diajukan pada tanggal 29
Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul
mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Nasionalisme
(Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan
2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan
Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi
nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut
dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1. Sosio
nasionalisme
2. Sosio demokrasi
3. Ketuhanan
2. Sosio demokrasi
3. Ketuhanan
Berikutnya tiga hal ini menurutnya
juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.
Selesai sidang pertama, pada tanggal 1
Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang
tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta
melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan
mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni
1945.
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan
rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang
berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya
sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri
atas sembilan orang. Panitia Kecil yang
beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan sidang dan
berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal
dengan sebutan “Piagam Jakarta”.
Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal
10-16 juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar.
Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah
tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan.
Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa
Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17
Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang,
dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya
(Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk pengesahan Preambul, terjadi
proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih
dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat
setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang
menemuinya. Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur
mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan”
yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur
lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul
ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para
anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid
Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam,
demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena pendekatan yang
terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja
merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan
dan diganti dengan “Yang Maha Esa”. (adipedia,2011)
Dari sedemikian sejarah
terbentuknya Pancasila tersebut, dapat kita lihat kesakralan yang seharusnya
ada pada pancasila, yang dimana sebenarnya ide Pancasila ini sudah lama
dicetuskan oleh nenek moyang kita pada zaman kerajaan Majapahit, berlanjut pada
masa proklamasi. Namun, mengapa pada saat ini seolah-olah kesakralan yang
seharusnya ada pada Pancasila ini menjadi pudar? Bukan hanya pudar lagi, tetapi
masyarakat Indonesia terutama para anak mudanya seolah-olah tidak mengenal
Pancasila lagi. Memang jika disuruh menyebutkan isi Pancasila mereka akan
dengan lancar menyebutkan apa saja isinya dengan sangat lantang, tetapi dalam
kehidupan bermasyarakat sulit sekali kita menemukan nilai-nilai pancasila yang
diterapkan di dalamnya. Apakah hal ini dikarenakan Pancasila sudah tidak cocok
lagi menjadi Ideologi Negara Indonesia? Ataukah karena memang Rakyat
Indonesianya sendiri yang sudah menjadi tidak peduli dengan negaranya? Banyak
dari mereka warga Indonesia yang menganggap negaranya sendiri adalah negara
yang buruk. Ini sangat menyedihkan. Jika kita telusuri lagi sejarah Indonesia
dapat kita temukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat. Cukup kuat
sampai negara ini bisa merdeka melepaskan diri dari cengkraman penjajah dengan
jerih payahnya sendiri tanpa bantuan siapapun. Bahkan negara adikuasa yang saat
ini dikatakan sebagai negara terkuatpun bisa merdeka karena dibantu oleh negara
lain. Mengapa rakyat Indonesia begitu buta dengan kenyataan sederhana seperti
ini sampai-sampai melupakan ideology negaranya sendiri? Coba lihat
negara-negara asing yang saat ini mereka anak muda sebut sebagai negara yang keren, mereka bisa seperti itu hanya
karena mereka bangga akan asal muasal bangsa dan cina tanah airnya. Sebenarnya Indonesia
juga bisa seperti itu jika saja rakyatnya bangga dan mencintai tanah airnya,
jika kalau bukan kita yang mencintai tanah air ini, maka siapa lagi?
Mungkin memang ideologi adalah
sesuatu yang dianggap kuno oleh masyarakat dewasa ini, atau mungkin juga karena
ideologi ini terlalu idealis dan tidak realistis atau sebagainya, namun menurut
pendapat pribadi saya, ini bukanlah karena semua hal tersebut. Memang untuk
dapat bertahan di bumi ini kita harus menjadi orang yang realistis, dan tidak
terlalu ideologis karena mungkin banyak orang akan menyebutnya gila. Namun jika
kita lihat dari sejarah umat manusia itu sendiri, dunia ini membutuhkan
orang-orang ideologis untuk menjadi sumber inspirasi mereka, pada kenyataannya
yang dapat kita lihat pada sejarah memang orang realistis menyebut diri mereka
realistis tetapi secara tidak sadar mereka selalu dipimpin oleh orang yang
ideologis. Ini sudah terbukti pada sejarah-sejarah yang ada, apakah kita masih
mau menutup mata, menyebut diri kita realistis dan menjadi bahan tertawaan
dunia?
Daftar Pustaka dan
Referensi:
tahun 2010, diakses pada
tanggal 11 April 2013
tahun 2011, diakses pada
tanggal 11 April 2013